
Diamond Sleeping in the Sea membawa kita kembali ke tahun 1955, tepatnya di Pulau Hashima, Nagasaki. Pulau Hashima yang ikonik, dengan bangunan-bangunan apartemennya yang unik, menjadi latar belakang kisah yang berpusat pada masa kejayaan industri batu bara di Jepang pasca perang dunia kedua.
The Diamond Sleeping in the Sea bukan sekadar drama sejarah. Ia menawarkan sebuah kisah yang jauh lebih dalam, merentang waktu selama 70 tahun dan berpindah latar antara gemuruh Pulau Hashima di masa lalu dan hiruk pikuk Tokyo modern masa kini. Kisah ini mengeksplorasi tema-tema universal seperti keluarga, persahabatan, dan cinta. Kita akan diajak menyelami kehidupan masyarakat Pulau Hashima di era kebangkitan industri batu bara, sebuah masa ketika Jepang masih berjuang pulih dari perang, namun dipenuhi dengan semangat dan harapan.
Di tengah keterbatasan materi pasca perang, masyarakat Hashima digambarkan memiliki mimpi dan vitalitas yang besar. Kehidupan komunitas yang erat, jalinan persahabatan yang kuat, dan kisah-kisah cinta yang bersemi di tengah kerasnya kehidupan menjadi fokus utama drama ini. Contrast ini kemudian dibawa ke Tokyo modern, di mana kemakmuran dan kelimpahan materi telah mencapai puncaknya. Namun, ironisnya, generasi muda di Tokyo justru digambarkan kesulitan menemukan arah dan impian mereka.
The Diamond Sleeping in the Sea menjanjikan sebuah perjalanan emosional yang mendalam. Kita akan menyaksikan bagaimana ikatan keluarga dan persahabatan mampu bertahan melewati ujian waktu dan perubahan zaman. Drama ini juga akan menjadi refleksi yang menarik mengenai perbedaan nilai-nilai dan semangat antara generasi yang tumbuh di masa sulit pasca perang dengan generasi muda yang hidup di era modern yang serba ada.