
Agent Carter membawa kita kembali ke Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. Peggy, yang sebelumnya bertugas bersama Strategic Scientific Reserve (SSR) di medan perang, kini harus beradaptasi dengan peran barunya di kantor SSR New York. Namun, kehidupan kantor yang monoton ternyata tidak berlangsung lama. Semuanya bermula ketika Howard Stark (Dominic Cooper), seorang ilmuwan jenius sekaligus pengusaha eksentrik, dituduh berkhianat dan menjual teknologi berbahaya kepada pihak musuh.
Di tengah tuduhan yang menimpa Stark, Peggy menerima panggilan telepon rahasia dari sang ilmuwan. Stark, yang percaya pada kemampuan Peggy, meminta bantuannya untuk membersihkan nama baiknya. Ia mengungkapkan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang berusaha memanipulasi penemuannya menjadi senjata pemusnah massal. Peggy, yang merasa memiliki hutang budi pada Stark dan percaya pada nuraninya, terjun langsung melakukan investigasi tanpa sepengetahuan atasannya di SSR.
Penyelidikan membawa Peggy pada sebuah konspirasi yang melibatkan Roxxon Energy Corporation, sebuah perusahaan energi besar yang ternyata memiliki agenda tersembunyi. Dengan bantuan setia dari Edwin Jarvis (James D’Arcy), butler pribadi Stark yang jenaka dan handal, Peggy menyusup ke pabrik Roxxon untuk mencari bukti. Di sana, mereka berhadapan dengan Leet Brannis (James Frain), seorang antagonis yang kejam dan licik. Konfrontasi ini mencapai puncaknya ketika Brannis meledakkan bom nitramine, menghancurkan pabrik dan memaksa Peggy dan Jarvis untuk melarikan diri.
Namun, ledakan pabrik Roxxon justru membuka tabir lebih dalam. Peggy menemukan petunjuk yang mengarah pada keterlibatan organisasi teroris asal Uni Soviet dalam skema penjualan senjata ilegal ini. Musim pertama Agent Carter kemudian berkembang menjadi kisah spionase yang mendebarkan, di mana Peggy harus berjuang melawan waktu, menghindari kejaran SSR yang mencurigainya, dan mengungkap konspirasi yang dapat mengancam keamanan negara.