Film X-Men: First Class membawa penonton kembali ke tahun 1962, tepat di tengah ketegangan Perang Dingin, untuk mengungkap kisah awal mula terbentuknya tim mutan ikonik dan perseteruan abadi antara Professor X dan Magneto. Berbeda dengan film-film X-Men sebelumnya yang berfokus pada tim yang sudah mapan, film ini menyelami akar persahabatan dan perbedaan ideologi Charles Xavier dan Erik Lehnsherr, dua mutan kuat yang kelak menempuh jalan yang sangat berbeda.
Kisah dimulai pada tahun 1944 di kamp konsentrasi Auschwitz. Erik Lehnsherr muda menyaksikan kekejaman Nazi saat dipisahkan dari ibunya oleh Klaus Schmidt, seorang perwira Nazi yang menyadari kekuatan magnetik Erik yang terpendam. Schmidt kemudian menjadikan Erik sebagai subjek percobaan, memicu trauma mendalam yang akan membentuk jalan hidup Erik di masa depan.
Sementara itu, di New York, Charles Xavier muda, seorang telepati berbakat, bertemu dengan Raven, seorang mutan shapeshifter berkulit biru. Charles, yang tumbuh di lingkungan yang nyaman, menerima Raven sebagai saudara perempuannya, sebuah penerimaan yang kontras dengan perlakuan yang sering diterima mutan lain.
Lompat ke tahun 1962, Erik yang diliputi dendam terus memburu Schmidt, yang kini dikenal sebagai Sebastian Shaw. Di sisi lain, Charles Xavier, yang telah meraih gelar doktor, bertemu dengan agen CIA Moira MacTaggert. Moira menyelidiki Hellfire Club, sebuah organisasi rahasia yang dipimpin oleh Shaw dan beranggotakan mutan-mutan seperti Emma Frost, Riptide, dan Azazel. Moira menyadari ancaman yang ditimbulkan oleh Shaw dan meminta bantuan Xavier.
Xavier dan Moira meyakinkan CIA akan keberadaan mutan dan bahaya yang ditimbulkan Shaw. Mereka membentuk Divisi X, sebuah divisi rahasia yang bertujuan untuk merekrut dan melatih mutan untuk melawan Shaw. Xavier dan Erik bertemu dan bekerja sama untuk menghentikan Shaw yang berencana memicu Perang Dunia III demi keuntungan kaum mutan.
Dalam proses perekrutan, Xavier menggunakan Cerebro untuk menemukan mutan-mutan lain dengan kemampuan unik, seperti Angel Salvadore, Armando Muñoz, Alex Summers, dan Sean Cassidy. Bersama-sama, tim mutan muda ini mulai mengembangkan kemampuan mereka dan belajar bekerja sama. Konflik internal mulai muncul ketika perbedaan pandangan antara Xavier yang optimis dan Erik yang sinis semakin tajam.
Shaw menyerang Divisi X, membuktikan bahwa ia adalah ancaman nyata. Beberapa anggota Divisi X gugur dalam serangan tersebut, memperdalam luka dan perbedaan pandangan antara Xavier dan Erik. Shaw berambisi untuk memicu perang nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, percaya bahwa kekacauan global akan menguntungkan mutan.
Puncak ketegangan terjadi saat Krisis Misil Kuba. Shaw, dengan dukungan mutan Hellfire Club, berusaha memastikan misil Soviet ditempatkan di Kuba. Xavier dan tim mutannya berusaha menghentikan Shaw. Pertempuran sengit terjadi di tengah laut. Erik, dengan kekuatan magnetiknya yang luar biasa, menghadapi Shaw. Sementara itu, Xavier berusaha menenangkan situasi dengan kekuatan telepati.
Pada klimaksnya, Erik berhasil melumpuhkan Shaw, namun kemudian membunuhnya dengan cara yang brutal, menunjukkan sisi gelap dan pendendam dalam dirinya. Tindakan Erik ini membuat Xavier sangat terpukul dan menjadi titik balik dalam hubungan mereka. Perbedaan ideologi dan cara pandang terhadap hubungan mutan dan manusia semakin memisahkan mereka.
Di akhir cerita, Xavier dan Erik berpisah jalan. Erik, yang kini memilih nama Magneto, pergi bersama mutan-mutan yang sejalan dengannya, membentuk kelompok Brotherhood of Mutants. Xavier, meskipun terluka secara fisik dan emosional, tetap pada keyakinannya untuk membangun jembatan antara mutan dan manusia, mendirikan sekolah untuk mutan muda di rumah mewahnya. X-Men: First Class tidak hanya menjadi prekuel yang menarik, tetapi juga fondasi penting bagi keseluruhan saga X-Men, menggambarkan awal mula perseteruan epik dan pembentukan karakter-karakter ikonik yang kita kenal.
