Film We Live in Time hadir sebagai pengingat yang kuat akan hal tersebut. Disutradarai oleh John Crowley dan ditulis oleh Nick Payne, film drama romantis tahun 2024 ini membawa kita menyelami perjalanan cinta Tobias Durand dan Almut Brühl selama satu dekade yang penuh warna. Kisah mereka tidak disajikan secara linier, melainkan melompat-lompat antar waktu, memberikan perspektif yang unik dan emosional tentang bagaimana cinta mereka tumbuh dan diuji oleh berbagai tantangan kehidupan.
Pertemuan Tobias dan Almut diawali dengan kejadian yang tidak terduga. Tobias, seorang perwakilan perusahaan sereal, secara tidak sengaja tertabrak mobil yang dikendarai oleh Almut, seorang mantan pemain seluncur es yang beralih profesi menjadi koki dengan spesialisasi masakan Bavarian-fusion. Pertemuan yang tidak disengaja ini justru menjadi awal dari kisah cinta yang manis namun juga penuh liku. Dari tawaran makan malam sebagai permintaan maaf, percikan asmara mulai tumbuh di antara mereka. Tobias, yang baru saja bercerai, menemukan kehangatan dan keceriaan pada diri Almut. Kencan pertama mereka berlanjut ke malam yang intim, dan tak lama kemudian, mereka memutuskan untuk tinggal bersama.
Namun, kebahagiaan awal mereka tidak berlangsung tanpa tantangan. Perbedaan pandangan tentang memiliki anak sempat menjadi batu sandungan dalam hubungan mereka. Saat Tobias mengungkapkan keinginannya untuk membangun keluarga, Almut secara terus terang menyatakan bahwa anak bukanlah prioritasnya. Meskipun sempat terjadi ketegangan, cinta mereka terbukti lebih kuat. Tobias belajar untuk menghargai Almut apa adanya, dan mereka kembali berbaikan.
Kehidupan mereka kembali diuji ketika Almut didiagnosis menderita kanker ovarium. Keputusan sulit harus diambil terkait pengobatan, termasuk kemungkinan histerektomi. Almut memilih histerektomi parsial, memberikan harapan untuk memiliki anak di masa depan. Setelah menjalani perawatan, kanker Almut berhasilRemisi. Penantian panjang dan usaha yang tak kenal lelah akhirnya membuahkan hasil ketika Almut hamil. Kebahagiaan mereka semakin lengkap dengan kelahiran putri pertama mereka, Ella, meskipun dengan drama persalinan darurat di kamar mandi pom bensin karena terjebak macet.
Beberapa tahun berlalu, keluarga kecil Tobias dan Almut menikmati kehidupan di sebuah pondok pertanian. Almut sukses sebagai kepala koki restoran sendiri. Namun, kebahagiaan mereka kembali terusik ketika kanker Almut kambuh dan memasuki stadium 3. Dihadapkan pada pilihan sulit antara menjalani kemoterapi yang melemahkan atau menikmati waktu yang tersisa tanpa pengobatan, Almut membuat keputusan yang berani. Di tengah perjuangannya melawan penyakit, ia menerima tawaran untuk berkompetisi di Bocuse d’Or, sebuah kompetisi memasak bergengsi. Keputusan ini menimbulkan konflik dengan Tobias, yang khawatir Almut mengabaikan kesehatannya. Namun, Almut memiliki alasan kuat: ia ingin Ella mengingatnya sebagai sosok ibu yang berprestasi dan tidak menyerah. Tobias akhirnya memahami dan mendukung keputusan Almut.
Di tengah sesi kemoterapi dan persiapan pernikahan yang harus dibatalkan, Almut tetap fokus pada kompetisi Bocuse d’Or. Dengan dukungan Tobias dan Ella, ia berhasil mencapai babak final di Italia. Momen haru dan menegangkan terjadi saat Almut berjuang menyelesaikan hidangan terakhir di tengah kondisi fisiknya yang melemah. Walaupun merasa lemas, dengan bantuan rekannya, Jade, Almut berhasil menyelesaikan kompetisi tepat waktu. Setelah kompetisi, Almut memilih untuk pulang bersama Tobias dan Ella, merayakan momen tersebut dengan bermain seluncur es bersama.
Film ini diakhiri dengan adegan yang menyentuh hati, di mana Tobias mengajarkan Ella cara memecahkan telur, persis seperti yang pernah Almut ajarkan kepadanya dulu. Adegan ini menjadi simbol dari siklus kehidupan, cinta yang abadi, dan warisan yang ditinggalkan. “We Live in Time” adalah film yang mengajak kita untuk merenungkan arti penting waktu, cinta, dan keluarga di tengah perjalanan kehidupan yang penuh dengan suka dan duka.