We Kill Them All” membawa penonton ke sebuah resor terpencil yang menjadi saksi bisu pertemuan antara seorang wanita muda dan ayahnya yang terasing. Namun, pertemuan yang awalnya diharapkan menjadi ajang rekonsiliasi ini, justru berubah menjadi mimpi buruk yang penuh darah dan kekerasan. Sang ayah, yang ternyata memiliki latar belakang kriminal kelam, berusaha memperbaiki hubungannya dengan putrinya. Namun, masa lalu tidak pernah benar-benar terkubur.
Kedatangan sang putri ke resor yang tenang itu bersama kekasihnya segera terusik oleh kehadiran pria-pria berbahaya. Mereka adalah bayang-bayang masa lalu sang ayah yang kembali menagih janji dan dendam. Suasana yang awalnya tenang dan damai, dengan cepat berubah menjadi tegang dan mencekam. Putri dan kekasihnya, yang tak menyangka akan terjebak dalam pusaran masalah ini, harus berjuang keras untuk bertahan hidup.
“We Kill Them All” menyajikan alur cerita yang cukup sederhana namun efektif dalam membangun ketegangan. Film ini tidak bertele-tele dan langsung membawa penonton ke inti permasalahan. Konflik yang dihadirkan terasa personal dan memiliki taruhan yang tinggi, yaitu nyawa. Aksi laga yang disajikan pun cukup intens dan tidak terasa berlebihan, lebih menekankan pada pertarungan yang brutal dan realistis dalam situasi bertahan hidup.
Film ini mengeksplorasi tema tentang keluarga, masa lalu yang menghantui, dan konsekuensi dari pilihan hidup. Hubungan antara ayah dan anak perempuan menjadi inti dari cerita, meski dibalut dalam balutan aksi yang menegangkan. Pertemuan yang diharapkan menjadi momen penyembuhan justru membuka luka lama dan memaksa semua karakter untuk menghadapi sisi gelap diri mereka sendiri.
