Film Tubero berkisah tentang seorang wanita yang dilanda kecemasan akan kehilangan pasangannya. Hubungan yang terasa hambar dan rutinitas yang membosankan membuatnya berpikir bahwa pria idamannya akan mencari kebahagiaan di tempat lain. Dalam kepanikan dan upaya putus asa untuk mempertahankan cintanya, ia membuat keputusan yang kontroversial: menyewa seorang tukang ledeng dengan embel-embel “layanan ekstra.”
Kehadiran tukang ledeng ini, yang diperankan oleh aktor yang memiliki daya pikat kuat, membawa angin segar sekaligus gejolak dalam kehidupan wanita tersebut. Awalnya, niatnya mungkin hanya sekadar mencari validasi dan membangkitkan gairah dalam hubungannya yang lesu. Namun, interaksi yang terjadi di antara mereka berkembang jauh melampaui sekadar urusan “pipa bocor.”
“Tubero” secara perlahan namun pasti mengupas lapisan demi lapisan emosi dan hasrat terpendam. Wanita yang awalnya dipenuhi keraguan dan ketakutan, menemukan kehangatan dan perhatian yang mungkin tidak lagi ia rasakan dari pasangannya. Tukang ledeng, dengan segala pesonanya yang memikat, mampu membangkitkan kembali sisi sensual dan femininnya yang selama ini terpendam.
Adegan-adegan dalam film ini dibangun dengan tensi yang meningkat secara bertahap. Sentuhan-sentuhan ringan, tatapan penuh arti, hingga percakapan yang semakin intim menciptakan atmosfer yang panas dan penuh gairah. “Tubero” tidak ragu menggambarkan adegan-adegan sensual yang eksplisit, namun tetap dalam koridor estetika dan penceritaan yang kuat. Film ini memahami bahwa seksualitas adalah bagian alami dari dinamika hubungan manusia, dan dapat menjadi jalan untuk mengeksplorasi emosi yang lebih dalam.
Seiring berjalannya waktu, wanita tersebut semakin terperangkap dalam jalinan asmara terlarang ini. Ia mendapati dirinya jatuh cinta pada tukang ledeng yang awalnya hanya ia sewa untuk “layanan ekstra.” Dilema moral pun muncul. Ia berada di persimpangan jalan antara kesetiaan pada pasangannya dan hasrat membara yang dirasakannya pada pria lain. Konflik internal ini menjadi jantung dari film “Tubero,” memaksa penonton untuk merenungkan tentang batasan-batasan dalam hubungan, kebutuhan emosional yang seringkali terabaikan, dan konsekuensi dari pilihan-pilihan yang diambil atas nama cinta dan hasrat.