Film “The Last Resort” mengajak penonton untuk menyelami inti kerapuhan sebuah hubungan melalui kisah Robert dan Emily, sepasang suami istri yang berada di titik kritis pernikahan mereka. Romansa yang dulunya membara kini tinggal abu, dan jurang pemisah di antara keduanya terasa kian melebar setiap harinya. Mereka tiba di persimpangan jalan yang sangat sulit, di mana pilihan untuk melanjutkan atau mengakhiri tampaknya tinggal menunggu waktu.
Dalam keputusasaan yang melanda, mereka mencari pertolongan profesional. Saran dari terapis pernikahan mereka menjadi secercah harapan terakhir: sebuah akhir pekan di sebuah resor yang terpencil dan pribadi. Tempat yang sengaja dipilih jauh dari hiruk pikuk dunia luar, dirancang khusus untuk memberikan ruang bagi pasangan untuk fokus hanya pada satu sama lain, mencoba menemukan kembali koneksi yang hilang dan mungkin, menyembuhkan luka yang mengering.
Perjalanan ke resor ini bukan sekadar liburan biasa, melainkan sebuah upaya terakhir, sebuah pertaruhan besar. Robert dan Emily datang dengan membawa beban ekspektasi, ketakutan, dan mungkin juga rahasia yang selama ini terpendam. Resor yang sunyi dan damai ini seharusnya menjadi kanvas kosong bagi mereka untuk melukis ulang kisah cinta mereka, namun seringkali, kesendirian justru memperjelas keretakan yang ada.
Latar resor yang terpencil itu sendiri bisa menjadi faktor kuat yang mempengaruhi alur cerita. Jauh dari gangguan eksternal, Robert dan Emily dipaksa untuk menghadapi diri mereka sendiri dan satu sama lain tanpa distraksi. Ini bisa menjadi momen untuk komunikasi yang jujur namun menyakitkan, konfrontasi yang tak terhindarkan, atau momen refleksi yang mendalam tentang apa yang sebenarnya salah. Akankah suasana tenang dan fasilitas yang mendukung benar-benar membantu mereka membuka diri dan memperbaiki apa yang rusak? Atau justru tekanan dari upaya “terakhir” ini akan membuat segalanya semakin buruk?
“The Last Resort” tampaknya akan mengeksplorasi kompleksitas hubungan jangka panjang, sulitnya mempertahankan gairah, pentingnya komunikasi yang efektif, dan keberanian yang dibutuhkan untuk menghadapi masalah alih-alih menghindarinya. Ini adalah potret jujur tentang perjuangan dua individu yang pernah saling mencintai, dan upaya monumental yang mereka lakukan untuk mencoba menyelamatkan apa yang tersisa.
Film ini sepertinya berfokus pada dinamika internal pasangan, menunjukkan bahwa terkadang, ‘resor terakhir’ yang paling penting bukanlah tempat fisik, melainkan ruang emosional yang harus mereka ciptakan bersama. Pertanyaan besarnya adalah: apakah Robert dan Emily memiliki kekuatan, kemauan, dan cinta yang tersisa cukup untuk membangun kembali, atau apakah akhir pekan di tempat terpencil ini justru akan menjadi titik perpisahan yang tak terhindarkan? Film “The Last Resort” menjanjikan pandangan yang menyentuh dan relatable tentang tantangan universal dalam menjaga api cinta tetap menyala.
