Diadaptasi dari novel trilogi monumental “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari, Sang Penari adalah sebuah film drama yang menyentuh dengan latar belakang sosial-budaya dan politik Indonesia era 1960-an. Film ini mengisahkan perjalanan hidup Srintil (diperankan oleh Prisia Nasution), seorang gadis yatim piatu dari desa kecil bernama Dukuh Paruk yang miskin dan terisolasi. Srintil ditakdirkan atau berambisi kuat untuk menjadi penari ronggeng baru di desanya, sebuah posisi yang dianggap sakral namun juga penuh stigma sosial. Menjadi ronggeng berarti menjadi milik bersama masyarakat desa, menghibur dalam berbagai acara, tetapi juga seringkali dieksploitasi.
Sejak kecil, Srintil memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Rasus (Oka Antara), teman masa kecilnya. Cinta tumbuh di antara mereka, namun terhalang oleh status Srintil sebagai calon ronggeng. Rasus, yang tidak rela melihat Srintil menjalani nasib sebagai ronggeng yang harus melayani banyak lelaki (termasuk melalui ritual ‘bukak klambu’ yang kontroversial), merasa cemburu dan patah hati. Dilema cinta dan pilihan hidup ini menjadi inti konflik emosional dalam film. Srintil harus memilih antara cintanya pada Rasus atau memenuhi ‘panggilan’ sebagai ronggeng yang dipercaya membawa berkah bagi Dukuh Paruk.
Sang Penari tidak hanya bercerita tentang cinta tragis Srintil dan Rasus, tetapi juga memberikan gambaran kuat tentang kemiskinan, kepercayaan mistis, tradisi lokal, dan ketidaktahuan masyarakat desa yang mudah dimanipulasi oleh kekuatan politik yang lebih besar, terutama terkait dengan peristiwa G30S/PKI yang imbasnya sampai ke Dukuh Paruk. Penampilan memukau Prisia Nasution sebagai Srintil dan Oka Antara sebagai Rasus berhasil menghidupkan kompleksitas karakter mereka. Disutradarai oleh Ifa Isfansyah, film ini meraih banyak penghargaan dan pujian karena keberhasilannya menerjemahkan kedalaman novel ke dalam narasi visual yang puitis sekaligus kelam, menyoroti sisi lain dari sejarah dan kemanusiaan Indonesia.
