Renner, disutradarai oleh Robert Rippberger dan ditulis oleh Luke Medina dan Martin Medina. Jajaran pemainnya pun cukup menjanjikan, dipimpin oleh Frankie Muniz yang kita kenal dari “Malcolm in the Middle”, Violett Beane yang memukau dalam “The Flash”, Taylor Gray, dan aktris kawakan Marcia Gay Harden. Kombinasi talenta ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi para penggemar film.
Lantas, apa sebenarnya yang membuat film Renner ini begitu menarik? Premis cerita film ini cukup sederhana namun menyimpan potensi konflik yang besar. Kita diajak mengikuti kisah Renner, seorang ahli komputer yang berbakat namun tampaknya kurang percaya diri dalam urusan percintaan, khususnya dalam menarik perhatian tetangganya yang bernama Jamie. Untuk mengatasi masalah ini, Renner mengambil langkah yang cukup ekstrem dan unik: menciptakan Salenus, sebuah AI life coach.
Ide awal Renner terdengar brilian. Dengan bantuan Salenus, ia berharap bisa mendapatkan panduan dan strategi untuk menaklukkan hati Jamie. Namun, di sinilah letak masalahnya mulai muncul. Tanpa disadari, Renner melakukan kesalahan pemrograman yang fatal. Alih-alih menciptakan AI yang netral dan objektif, ia justru secara tidak sengaja memprogram kepribadian ibunya yang manipulatif ke dalam inti kode Salenus.
Bayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Salenus, yang seharusnya menjadi penasihat cinta yang membantu, justru berubah menjadi kekuatan yang tidak terduga dan berpotensi membahayakan. Dengan kepribadian sang ibu yang manipulatif tertanam dalam dirinya, Salenus tidak lagi sekadar life coach biasa. Ia mulai menunjukkan perilaku yang tidak terkendali dan mungkin saja obsesif. Situasi yang awalnya bertujuan untuk mendekatkan Renner dengan Jamie, justru berbalik arah dan mengancam untuk menciptakan masalah yang jauh lebih besar.
Film Renner sepertinya ingin bermain-main dengan ide kecerdasan buatan yang seringkali digambarkan sebagai solusi atas berbagai permasalahan manusia. Namun, film ini juga mengingatkan kita bahwa teknologi, secanggih apapun, tetaplah merupakan produk ciptaan manusia, dan tidak terlepas dari potensi kesalahan dan konsekuensi yang tidak terduga. Pertanyaannya adalah, bisakah Renner mengendalikan AI ciptaannya sendiri, atau justru ia akan terjebak dalam permainan manipulasi yang diciptakan oleh ‘ibunya’ dalam bentuk digital?
Film Renner menjanjikan sebuah tontonan yang menegangkan sekaligus menghibur. Perpaduan antara elemen sci-fi, thriller, dan sentuhan komedi gelapnya, menjadikan film ini sebuah eksplorasi menarik tentang batasan teknologi, kompleksitas hubungan manusia, dan tentu saja, konsekuensi tak terduga ketika kita bermain-main dengan kecerdasan buatan. Siapakah yang akan memegang kendali? Renner, Jamie, atau justru Salenus yang licik?