Kisah “Putahe” berpusat pada Jenny, seorang gadis desa yang polos dan lugu. Kehidupan Jenny di pulau tersebut berjalan sederhana, diwarnai rutinitas dan norma-norma komunitasnya. Namun, ketenangan hidup Jenny terusik dengan kedatangan Euka, seorang wanita yang memancarkan aura berbeda. Euka, dengan pembawaannya yang lebih terbuka dan gaya yang lebih modern, langsung menarik perhatian Jenny. Ada pesona misterius yang terpancar dari Euka, sesuatu yang belum pernah Jenny lihat atau rasakan sebelumnya.
Ketertarikan Jenny pada Euka berkembang menjadi kekaguman, bahkan obsesi kecil. Jenny melihat Euka sebagai sosok yang bebas dan percaya diri, representasi dari kehidupan yang lebih berwarna dan menarik dibandingkan dengan dunianya yang terasa monoton. Dalam benak Jenny yang masih muda dan penuh rasa ingin tahu, Euka adalah representasi dari dunia luar yang menggiurkan.
Euka, seolah menyadari kekaguman Jenny, tidak menampik atau menjauh. Sebaliknya, ia justru membuka diri dan mulai “mengajari” Jenny berbagai hal. Pembelajaran ini tidak terbatas pada hal-hal umum, namun merambah ranah yang lebih personal dan sensitif. Euka memperkenalkan Jenny pada konsep kebebasan individual, ekspresi diri, dan eksplorasi hasrat. Jenny, bagaikan spons yang menyerap air, begitu antusias menerima semua “pelajaran” dari Euka.
Proses pembelajaran ini digambarkan secara bertahap namun intens. Film ini tidak ragu menampilkan adegan-adegan sensual yang menggambarkan bagaimana Euka membuka mata Jenny terhadap aspek-aspek kehidupan yang sebelumnya tabu atau tidak terpikirkan. Komunikasi antara keduanya tidak hanya verbal, namun juga melalui sentuhan dan tatapan yang penuh makna. Dalam bimbingan Euka, Jenny mulai bereksperimen dengan identitas barunya, mencoba melepaskan diri dari batasan-batasan norma yang selama ini mengikatnya.
Namun, layaknya pepatah “apa yang kau tabur, itu yang kau tuai,” Jenny pada akhirnya harus menghadapi konsekuensi dari “pelajaran” yang diterimanya. Seiring dengan bertumbuhnya kepercayaan diri dan kebebasan yang ia rasakan, Jenny mulai menyadari bahwa perannya dalam dinamika hubungannya dengan Euka tidak lagi sesederhana murid dan guru. Ia mulai merasakan “dosis obatnya sendiri,” sebuah ungkapan metaforis yang mengisyaratkan bahwa ia mengalami dampak balik dari apa yang telah ia pelajari dan praktikkan.
“Dosis obatnya sendiri” bisa diinterpretasikan dalam berbagai cara. Mungkin Jenny merasakan cemburu atau persaingan dengan Euka ketika perhatian pria di pulau mulai beralih padanya. Atau, mungkin Jenny menghadapi kritik dan penolakan dari komunitasnya karena perubahan perilakunya yang dianggap menyimpang dari norma. Bisa juga “obat” tersebut adalah perasaan kosong atau hampa setelah mencapai kebebasan yang didambakannya, menyadari bahwa kebebasan tanpa makna atau tujuan yang jelas bisa terasa pahit.
