Film Melukis Luka menghadirkan sebuah kontras tajam yang menarik untuk disimak. Di satu sisi, kita dikenalkan pada sosok-sosok dari dunia seni yang terbiasa hidup dalam kemakmuran. Alisa, sebagai perwakilan dari kelompok kurator dan penata seni ini, menjalani kehidupan yang jauh dari kata kekurangan, dikelilingi oleh karya-karya bernilai tinggi dan transaksi yang menggiurkan.
Namun, alur Melukis Luka mempertemukan dunia Alisa yang mapan dengan realitas kehidupan yang sangat berbeda. Ia bertemu dengan Henry, seorang pelukis yang tinggal dalam kondisi serba kekurangan. Henry adalah anggota dari Bio Khong Temple di Petak Sembilan, sebuah detail yang semakin menyoroti kesederhanaan, bahkan kemiskinan, yang melingkupi hidupnya.
Melihat bakat Henry yang tak diragukan, Alisa sebagai seorang profesional di bidang seni, tentu saja tertarik untuk menjalin kerja sama. Logikanya, Henry sebagai pelukis berbakat akan menyambut uluran tangan yang bisa membawanya ke panggung pameran, pengakuan, dan tentu saja, pendapatan yang layak.
Namun, Melukis Luka menyajikan dinamika yang tidak terduga. Setiap tawaran kerja sama yang diajukan Alisa selalu menemui penolakan dari Henry. Keputusan Henry ini menjadi teka-teki besar bagi Alisa. Di matanya, sikap Henry sangat tidak lazim. Bukankah seharusnya setiap pelukis berambisi untuk karyanya dikenal luas, dipamerkan, dan dihargai secara materi?
Film Melukis Luka menggali lebih dalam misteri di balik penolakan Henry. Ia bukan hanya seorang pelukis miskin, tetapi sosok yang penuh teka-teki, menantang pandangan standar tentang apa artinya menjadi seniman dan apa ukuran kesuksesan dalam dunia seni. Pertemuan dua dunia yang sangat berbeda ini, dan keengganan Henry untuk masuk ke pusaran komersial yang ditawarkan Alisa, menjadi inti dari narasi Melukis Luka, mengajak penonton merenungkan makna seni, prioritas hidup, dan nilai-nilai yang terkadang tidak bisa diukur hanya dengan materi.
