Terkadang, momen paling tak terduga bisa mengubah seluruh hidup kita. Itulah inti dari film Love at First Sight, sebuah kisah romantis yang bermula dari sebuah insiden kecil di bandara.
Cerita dibuka dengan Hadley Sullivan, seorang mahasiswa Amerika berusia 20 tahun yang dikenal sering terlambat. Pada tanggal 21 Desember di Bandara JFK, ketidakberuntungan Hadley kembali datang; dia ketinggalan penerbangan ke London dan harus dijadwalkan ulang ke penerbangan berikutnya. Di sinilah takdir mempertemukannya dengan Oliver Jones, seorang mahasiswa Yale asal Inggris berusia 22 tahun, di sebuah stasiun pengisian daya ponsel. Ponsel Hadley kehabisan daya, dan Oliver dengan ramah meminjamkan chargernya.
Percakapan singkat itu mengalir begitu saja, menciptakan koneksi instan. Mereka memutuskan untuk makan malam bersama di food court bandara, saling berbagi cerita ringan. Hadley menceritakan bahwa dia terbang ke London untuk menghadiri pernikahan kedua ayahnya, sebuah acara yang membuatnya ragu mengingat perceraian orang tuanya belum lama berlalu. Oliver, yang membawa tas pakaian, tidak banyak bercerita selain bahwa dia mempelajari inferensi statistik dan sedang mengerjakan proyek penelitian. Hadley, menyimpulkan dari tasnya, mengira Oliver juga akan menghadiri pernikahan, asumsi yang tidak disanggah oleh Oliver.
Saatnya tiba untuk naik pesawat. Mereka mengucapkan selamat tinggal, mengira hanya bertemu sebentar. Namun, takdir kembali campur tangan; sabuk pengaman Oliver rusak, dan dia dipindahkan ke kursi di sebelah Hadley. Selama penerbangan trans-Atlantik itulah, di tengah sempitnya ruang dan deru mesin, Hadley dan Oliver semakin dekat. Mereka menghabiskan seluruh penerbangan saling mengenal, dan benih cinta mulai tumbuh.
Setibanya di London, Oliver memasukkan nomor ponselnya ke ponsel Hadley agar mereka bisa tetap berhubungan. Tapi lagi-lagi, masalah teknis datang; ponsel Hadley mati total sesaat setelah mendarat, dan nomor Oliver lenyap bersamanya. Tanpa cara untuk menghubunginya, Hadley merasa sedikit kecewa namun harus melanjutkan perjalanannya ke pernikahan ayahnya yang akan segera dimulai.
Saat tiba di lokasi pernikahan, Hadley masih bergumul dengan perasaannya tentang keputusan ayahnya. Namun, kebaikan dan perhatian Charlotte, calon ibu tirinya, sedikit melunakkan hatinya. Setelah upacara, di tengah keramaian, Hadley tak sengaja mendengar percakapan tamu yang menyebutkan mereka akan pergi lebih awal untuk menghadiri acara peringatan. Rincian percakapan itu membuat Hadley tersentak; dia menyadari bahwa acara peringatan itu adalah untuk ibu Oliver, dan Oliver sebenarnya datang ke London bukan untuk pernikahan, melainkan untuk acara duka yang cukup unik—ibunya yang menderita kanker stadium akhir ingin menghadiri acara peringatannya sendiri selagi masih hidup.
Dengan penerimaan pernikahan yang masih beberapa jam lagi, Hadley mengambil keputusan spontan: dia harus mencari Oliver. Dia menuju lokasi acara peringatan, sebuah tempat bernuansa Shakespearean. Di sana, dia bertemu dengan keluarga Oliver, termasuk ibunya, Tessa, yang terkejut melihatnya. Setelah kebingungan awal mereda, Hadley akhirnya menemukan Oliver. Oliver senang melihatnya, tetapi mencoba bersikap tegar, menghindari membicarakan perasaannya secara mendalam, bahkan menggunakan statistik untuk merasionalisasi situasi ibunya. Hadley mendesaknya untuk jujur, yang membuat Oliver sedikit tersulut emosi, dan Hadley memutuskan untuk pergi.
Namun, kata-kata Oliver berikutnya mengubah segalanya. Dalam pidatonya untuk Tessa, Oliver mengakui bahwa dia selama ini berusaha mengukur hidup dan perasaan dengan angka, sebuah cara untuk memahami dunia yang kompleks. Tapi dia menyadari, kehadiran dan makna ibunya tidak bisa direduksi hanya menjadi statistik.
Sementara itu, Hadley yang buru-buru pergi menyadari ranselnya tertinggal di lokasi peringatan. Dia mencoba kembali ke resepsi pernikahan dengan berjalan kaki tetapi tersesat. Meminjam ponsel, dia menghubungi ayahnya, Andrew, yang kemudian menjemputnya bersama Charlotte. Dalam perjalanan, Andrew memuji keberanian Hadley mengambil risiko untuk mencari Oliver dan memberinya pemahaman tentang perceraian orang tuanya. Dia dan Charlotte juga meminta maaf jika eksitasi mereka membuat Hadley tertekan. Momen ini menjadi titik balik rekonsiliasi ayah dan anak.
Kembali di lokasi peringatan, keluarga Oliver yang menemukan ransel Hadley menemukan undangan pernikahan Andrew di dalamnya. Mereka mendorong Oliver untuk mencari Hadley, meyakinkannya bahwa kalkulasi peluang tidak bisa mengatur semua hal, terutama yang berkaitan dengan hati. Ayahnya, Val, memberi contoh dengan mengatakan bahwa meskipun tahu Tessa akan meninggal karena kanker, dia tetap tidak akan pernah menyesali waktu yang dihabiskan bersamanya. Keluarga Oliver pun ikut membantunya mencari Hadley.
Oliver akhirnya menemukan Hadley di resepsi pernikahan. Di tengah suasana bahagia, Oliver mengakui tiga ketakutan terbesarnya: kuman, kegelapan, dan kejutan—ketakutan terakhir ini muncul setelah diagnosis kanker ibunya. Hadley kemudian menciumnya. Ketika Hadley bertanya tentang penelitian statistiknya, Oliver mengungkapkan topik studinya: probabilitas statistik cinta pada pandangan pertama.
Narator menutup kisah ini dengan mengungkapkan fakta bahwa Hadley dan Oliver akan menghabiskan sisa hidup mereka bersama, menikah selama 58 tahun, dan memiliki seorang putri. Film Love at First Sight mengingatkan kita bahwa terkadang, rencana terbaik adalah membiarkan takdir bekerja dengan caranya sendiri, dan bahwa koneksi manusia, terutama cinta, sering kali melampaui segala perhitungan.