Linya membawa kita pada kisah Gia, seorang bartender yang harus berjuang keras di tengah kerasnya kehidupan metropolitan. Namun, di balik senyumnya saat melayani pelanggan, Gia menyimpan rahasia besar yang menjadi beban hidupnya: ia adalah simpanan dari seorang politikus berpengaruh. Hubungan ini memberinya jaminan finansial dan menjaga kehidupannya tetap stabil, memberikan kenyamanan semu di tengah keterbatasan, namun di balik kemewahan itu ada kesepian yang mendalam dan ikatan yang terasa dingin serta penuh perhitungan. Kehidupannya terasa seperti peran yang harus dimainkan, jauh dari kehangatan emosional yang diinginkan.
Namun, rutinitas yang tertata rapi itu mulai goyah ketika gejolak baru muncul di tempat kerjanya. Di tengah hiruk pikuk bar, Gia bertemu dengan seorang pria yang membangkitkan perasaannya, menawarkan percikan gairah dan keintiman yang selama ini hilang dalam hubungannya dengan sang politikus. Ketertarikan ini begitu kuat, sebuah godaan berbahaya yang menguji batas kesetiaan dan kepuasan diri Gia. Ini bukan hanya tentang romansa biasa, ini adalah janji kenikmatan terlarang yang kontras tajam dengan kehidupan simpanannya yang datar.
Film semi Linya, yang mengingatkan pada drama intens ala vivamax, menangkap pergulatan batin Gia dengan sangat eksplisit. Setiap tatapan, setiap percakapan, dan setiap interaksi di bar dengan pria baru itu menjadi tarikan yang kuat, memaksanya berdiri di persimpangan yang sulit. Gia tahu, dia harus melawan keinginan yang menggebu dari dalam dirinya sebelum semuanya terlambat. Terlambat sebelum hubungan terlarang ini terbongkar dan menghancurkan segalanya, atau terlambat karena ia sudah terlalu dalam tenggelam dalam hasrat yang berbahaya dan tak bisa kembali. Linya adalah eksplorasi berani tentang pilihan sulit, godaan di tengah keterpurukan, dan konsekuensi dari keinginan yang tak terkendali dalam balutan film semi Filipina yang intens.