Film Laruan memperkenalkan kita pada Thea, seorang istri yang memiliki keberanian (atau mungkin kenekatan) untuk mengundang pria lain, Geoff, ke rumahnya. Bukan sekadar bertamu, kehadiran Geoff sudah menjadi semacam ritual makan malam yang rutin di mana ia dan Thea kemudian akan bercumbu mesra di hadapan Rene, suami Thea sendiri. Mungkin kedengarannya tidak lazim, bahkan ganjil, tetapi inilah realitas yang dibangun dalam “Laruan”. Kita dipaksa untuk bertanya, apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangga ini? Apa yang mendasari persetujuan Rene untuk membiarkan istrinya bermesraan dengan pria lain di rumah mereka sendiri?
Thea digambarkan sebagai sosok wanita yang percaya diri dan penuh gairah. Ia tidak ragu untuk mengekspresikan hasratnya, bahkan cenderung mendominasi dalam permainan ranjang yang ia ciptakan. Geoff, di sisi lain, tampaknya menikmati peran sebagai “pria idaman lain” yang dipanggil untuk memuaskan Thea. Hubungan antara Thea dan Geoff terkesan murni fisik, sebuah pelarian dari rutinitas atau mungkin kebutuhan Thea untuk merasa diinginkan dan berkuasa. Sementara itu, Rene hadir sebagai sosok yang misterius dan pasif. Reaksinya yang tenang dan cenderung menerima situasi ini justru menimbulkan pertanyaan yang lebih besar. Apakah ia benar-benar menerima “permainan” istrinya, ataukah ada motif tersembunyi di balik sikap diamnya?
Namun, dinamika yang sudah terbentuk ini mulai berubah ketika seorang wanita baru bernama Camille memasuki kehidupan mereka. Kehadiran Camille menjadi katalisator yang mengacaukan “permainan” yang selama ini berjalan mulus antara Thea dan Geoff. Tidak dijelaskan secaraGamblang siapa Camille dan bagaimana ia tiba-tiba masuk ke dalam lingkaran mereka, namun kedatangannya jelas memberikan dampak yang signifikan.
“Permainan liar dan gila” yang selama ini dimainkan Thea mengalami perubahan. Entah Camille menjadi pesaing baru dalam mendapatkan perhatian Geoff, ataukah kehadirannya membangkitkan sisi lain dari diri Thea yang selama ini terpendam. Mungkin juga, Camille membuka mata Rene terhadap realitas yang selama ini ia abaikan. Yang pasti, “Laruan” tidak lagi sekadar tentang pemenuhan hasrat seksual yang bebas dan terbuka. Film ini berkembang menjadi sebuah drama yang lebih kompleks mengenai hubungan, kekuasaan, dan konsekuensi dari “permainan” yang diciptakan.
