Menilik “Hutang Nyawa”, Saat Utang Keluarga Berujung Teror di Pabrik
Sebuah film berjudul “Hutang Nyawa” membawa penonton menelusuri kisah Erwina, sosok perempuan muda yang dibebani tanggung jawab besar di pundaknya. Sebagai anak bungsu, ia menyaksikan langsung kesulitan ekonomi keluarganya yang terjerat utang. Demi melunasi beban tersebut dan memastikan kebutuhan tercukupi, Erwina memutuskan untuk mencari nafkah, membawanya ke sebuah pabrik besar yang tengah berjaya di era 1990-an.
Pabrik Batik Gemah Ripah menjadi tempat Erwina menggantungkan harapan. Dengan semangat kerja keras, ia berharap upah yang didapat bisa menjadi jalan keluar dari himpitan utang keluarga. Namun, semangat membara itu perlahan meredup tergantikan oleh rasa takut dan keanehan yang mulai menyelimuti hari-harinya di pabrik. Gemah Ripah, di balik kesibukan produksi batiknya, ternyata menyimpan misteri kelam, sebuah ritual kurban yang mengerikan.
Teror misterius mulai menghantui Erwina, membuat suasana kerja yang seharusnya penuh tuntutan menjadi terasa mencekam. Puncaknya, ketika ia mencoba meminta kasbon (uang muka) untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Permintaan yang wajar itu justru ditolak mentah-mentah oleh atasannya. Penolakan tersebut bukan sekadar masalah administrasi, melainkan dibumbui dengan nada merendahkan status sosial Erwina dan keraguan akan kemampuannya membayar kembali. Lebih menyeramkan lagi, atasannya sempat melontarkan ancaman tentang konsekuensi mengerikan jika Erwina sampai gagal melunasi kewajibannya.
Kejadian ini seolah membuka tabir bahwa “hutang” di pabrik Gemah Ripah bukan hanya soal uang, melainkan sesuatu yang jauh lebih besar dan mengikat jiwa. Perjuangan Erwina dalam “Hutang Nyawa” pun berubah drastis; dari sekadar melunasi utang finansial, menjadi pertarungan untuk bertahan hidup dan mengungkap kebenaran di balik ritual kelam yang menghantui tempat kerjanya.
