Film Happy Ending menyelami kehidupan Rina dan Bayu, pasangan muda yang tampak sempurna dari luar. Mereka memiliki karier yang mapan, apartemen yang nyaman, dan kehidupan sosial yang aktif. Namun, di balik senyum dan kemesraan yang terlihat, Rina menyimpan sebuah kekecewaan besar: ketidakpuasan di ranjang dengan Bayu. Masalah ini perlahan menggerogoti kebahagiaan Rina, membuatnya merasa terpenjara dalam hubungan yang terasa hampa secara intim.
Keadaan ini mendorong Rina untuk mengambil langkah berani dan cukup ekstrem. Ia memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Bayu dan mengusulkan ide yang tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh mereka: membuka hubungan mereka untuk orang ketiga. Usulan ini tentu saja mengguncang fondasi hubungan mereka yang selama ini terasa aman dan nyaman. Bayu, yang selama ini merasa bahwa hubungan mereka baik-baik saja, terkejut dan kebingungan. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa ada sesuatu yang hilang dalam hubungan mereka, sesuatu yang sangat penting bagi Rina.
Keputusan Rina ini menjadi ujian besar bagi cinta mereka. Apakah mereka mampu menghadapi tantangan ini bersama? Apakah membuka pintu untuk orang ketiga akan menjadi solusi atau justru menghancurkan apa yang telah mereka bangun? Film “Happy Ending” mengajak penonton untuk merenungkan kompleksitas hubungan modern, keberanian untuk jujur pada diri sendiri dan pasangan, serta definisi kebahagiaan yang berbeda bagi setiap individu. Dengan alur cerita yang provokatif dan karakter yang relatable, film ini menawarkan drama romantis yang segar dan penuh intrik.
“Happy Ending” bukan sekadar film romantis biasa. Film ini berani mengangkat isu yang seringkali tabu dan dihindari dalam percakapan sehari-hari, yaitu ketidakpuasan seksual dalam hubungan jangka panjang. Premis film ini cukup menggelitik dan membuat penasaran: bagaimana jadinya jika sebuah hubungan yang tampak harmonis diuji dengan kehadiran orang ketiga atas inisiatif sendiri?
Kekuatan utama film ini terletak pada penggambaran karakter Rina dan Bayu yang terasa sangat manusiawi. Rina tidak digambarkan sebagai wanita yang egois atau tidak setia. Justru sebaliknya, ia adalah sosok yang berani untuk vokal tentang kebutuhannya dan berusaha menyelamatkan hubungannya dengan cara yang tidak konvensional. Bayu pun bukan sosok antagonis. Kebingungan dan keterkejutannya sangat wajar dan mencerminkan realitas banyak pasangan yang mungkin tidak pernah terpikir untuk membahas isu sensitif seperti ini secara terbuka.
Film ini dengan cerdas mengemas isu berat ini dalam format drama yang ringan dan mengalir. Dialog-dialognya terasa natural dan percakapan antara Rina dan Bayu terasa sangat relatable bagi siapa saja yang pernah merasakan dinamika hubungan asmara. “Happy Ending” tidak memberikan jawaban mudah atau menghakimi keputusan karakter-karakternya. Film ini justru mengajak penonton untuk berpikir lebih dalam tentang apa arti kebahagiaan dalam hubungan, batasan-batasan yang kita tetapkan, dan keberanian untuk mendobrak zona nyaman demi mencapai keintiman yang lebih dalam.