Film “Cinderella’s Revenge” yang dirilis tahun 2024 ini hadir sebagai sebuah interpretasi ulang yang gelap dan brutal dari dongeng klasik yang telah kita kenal sejak lama. Jauh dari kilauan sepatu kaca dan kereta labu yang romantis, film ini menyelami genre horor dan fantasi, memutarbalikkan narasi Cinderella menjadi kisah balas dendam yang mengerikan. Ini bukan lagi tentang menemukan cinta sejati di pesta dansa, melainkan tentang perhitungan berdarah atas penderitaan yang tak terhingga.
Di balik citra Cinderella yang sabar dan penyayang, film ini mengeksplorasi kedalaman keputusasaan yang bisa dialami seseorang ketika terus-menerus ditindas dan dianiaya. Tinggal bersama ibu tiri dan saudara tirinya yang kejam, Cinderella dalam versi ini didorong hingga ke batas kewarasan. Setiap hari adalah siksaan, penuh dengan perlakuan kejam, penghinaan, dan pekerjaan tanpa henti, tanpa sedikit pun kasih sayang atau harapan. Penderitaan ini menumpuk, menggerogoti jiwanya hingga hanya tersisa amarah yang membara.
Titik balik dalam kisah “Cinderella’s Revenge” datang bukan dari undangan pesta Pangeran, melainkan dari kemunculan Ibu Peri yang jauh berbeda dari versi klasik. Ibu Peri di sini bukanlah figur penyantun yang hanya memberikan impian semalam, melainkan entitas yang menawarkan kekuatan untuk pembalasan. Sihirnya digunakan bukan untuk mengubah labu menjadi kereta atau tikus menjadi kuda, melainkan untuk mempersenjatai Cinderella dan memberikannya sarana untuk mendapatkan keadilan – atau lebih tepatnya, melancarkan retribusi. Transformasi Cinderella pun drastis; sepatu kaca ikonik yang melambangkan kelembutan dan harapan kini ditukar dengan alat yang lebih mematikan, simbol perubahan dirinya dari korban menjadi algojo.
Dengan kekuatan baru dan hati yang dipenuhi dendam, Cinderella memulai misi mengerikan: memburu satu per satu mereka yang telah membuatnya menderita. Pencarian balas dendam ini digambarkan dengan brutal dan tanpa kompromi. Film “Cinderella’s Revenge” tidak ragu menampilkan sisi gelap dari kemarahan yang dilepaskan setelah penindasan yang berkepanjangan. Setiap konfrontasi diwarnai dengan elemen horor dan kekerasan, mengubah setiap adegan menjadi langkah lebih jauh ke dalam kegelapan batin Cinderella. Perjalanan ini adalah bukti visual bahwa penderitaan ekstrem bisa memunculkan monster dari dalam diri seseorang, bahkan dari karakter yang paling tidak bersalah sekalipun.
Film ini berhasil menciptakan kembali suasana dongeng yang familiar namun dengan lapisan kengerian yang tebal. Lewat “Cinderella’s Revenge” (2024), penonton diajak untuk merenungkan batas antara keadilan dan kekejaman, serta konsekuensi mengerikan dari penderitaan yang tak terbalas. Ini adalah narasi yang menantang ekspektasi, mengubah kisah tidur yang manis menjadi mimpi buruk yang tak terlupakan, membuktikan bahwa bahkan karakter dongeng pun bisa menjadi gelap dan mematikan ketika didorong terlalu jauh.