Bu Tejo Sowan Jakarta membawa kita pada cerita yang berpusat pada seorang pemuda bernama Teddy. Seperti banyak anak pada umumnya, Teddy memiliki keinginan kuat untuk membahagiakan ibunya, termasuk dengan memenuhi harapan sang ibu untuk melihatnya menikah dan membangun rumah tangga. Keinginan ini menjadi motivasi utama Teddy dalam pencarian pendamping hidupnya.
Namun, perjalanan Teddy menuju pelaminan ternyata tidak semulus yang dibayangkan. Ketika ia memperkenalkan calon istrinya, Vanessia, konflik pun pecah. Sang ibu, dengan pandangan yang masih dibayangi prasangka, menolak keras Vanessia semata-mata karena ia adalah keturunan Tionghoa. Alasan penolakan ini cukup miris; sang ibu merasa malu dengan tetangga dan memegang stereotip usang yang menganggap orang Tionghoa pelit. Restu pernikahan pun terganjal tembok prasangka dan ketakutan akan omongan orang.
Menghadapi penolakan yang didasari alasan diskriminatif ini, Teddy tidak menyerah. Ia tetap teguh pada cintanya kepada Vanessia dan keinginannya untuk membangun keluarga. Dalam tekadnya yang kuat, Teddy pun mengambil langkah yang tidak biasa dan berani. Ia memutuskan untuk membawa seluruh warga desa tempat tinggalnya ke Jakarta.
Tindakan ini bukan sekadar perjalanan biasa, melainkan sebuah upaya besar untuk ‘men-sowan-kan’ ibunya dan seluruh komunitas desa ke dunia yang lebih luas, mempertemukan mereka dengan kenyataan yang mungkin berbeda dari bayangan mereka. Dengan membawa serta para tetangga yang menjadi sumber kekhawatiran ibunya, Teddy berharap bisa membuka mata sang ibu dan membuktikan bahwa cinta dan kebahagiaan tidak dibatasi oleh suku maupun latar belakang. Film “Bu Tejo Sowan Jakarta” pun mengisahkan perjuangan Teddy dalam melawan prasangka sosial demi bisa bersatu dengan orang yang dicintainya, menghadirkan drama keluarga dan sosial yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.