Bone Face,” hadir dengan premis yang sederhana namun efektif dalam membangun kengerian dan misteri. Bayangkan sebuah kota kecil yang tenang tiba-tiba dikejutkan oleh serangkaian pembunuhan brutal. Korbannya adalah para pekemah yang malang, dan pelaku di balik semua ini adalah sosok mengerikan bertopeng.
Kisah “Bone Face” dimulai dengan adegan yang langsung menghentak jantung. Pembantaian keji di area perkemahan menjadi pembuka yang efektif untuk memperkenalkan teror yang akan datang. Polisi setempat, diwakili oleh seorang sheriff yang berpengalaman dan wakilnya yang lebih muda, segera bergerak untuk mengungkap kebenaran di balik kekejaman ini. Penyelidikan mereka membawa jejak si pembunuh ke sebuah restoran lokal yang menjadi pusat perhatian dalam film ini.
Disinilah inti cerita “Bone Face” berpusat. Restoran yang awalnya tampak biasa saja, berubah menjadi arena permainan kucing dan tikus yang menegangkan. Sheriff dan wakilnya menyadari bahwa pembunuh yang mereka cari ada di antara para pengunjung dan pegawai restoran tersebut. Maka dimulailah babak baru penyelidikan. Dengan menggunakan kemampuan observasi dan deduksi mereka, keduanya harus mengidentifikasi siapa di antara orang-orang yang terjebak di restoran itu yang sebenarnya adalah pembunuh bertopeng yang kejam.
“Bone Face” menawarkan formula klasik film misteri pembunuhan dengan sentuhan horor yang kental. Atmosfer tegang dibangun dengan baik melalui setting restoran yang terisolasi dan kumpulan karakter yang masing-masing menyimpan potensi menjadi tersangka. Penonton akan diajak untuk ikut berpikir dan menebak-nebak, mencoba mencari petunjuk tersembunyi di antara interaksi antar karakter dan detail-detail kecil yang mungkin terlewat. Film ini menjanjikan pengalaman menonton yang memacu adrenalin sekaligus membuat penasaran hingga akhir cerita.