Blonde membawa kita menyelami kehidupan Norma Jeane Mortenson, yang kelak dikenal dunia sebagai Marilyn Monroe. Film ini bukan biografi lurus, melainkan interpretasi fiksi dari novel karya Joyce Carol Oates, yang mengeksplorasi sisi psikologis dan emosional sang ikon di balik gemerlap Hollywood. Dari masa kecil yang penuh trauma dengan ibu yang mengalami gangguan mental, hingga metamorfosis menjadi Marilyn Monroe, film ini menggambarkan perjalanan Norma Jeane mencari identitas diri dan cinta di tengah tekanan popularitas dan ekspektasi publik.
Kita menyaksikan perjuangan Norma Jeane menghadapi eksploitasi di industri film, pelecehan seksual oleh figur-figur berkuasa, dan pernikahan yang kandas. Film ini dengan berani menampilkan sisi gelap Hollywood, menyoroti bagaimana Marilyn Monroe merasa terjebak dalam persona publiknya, merindukan keaslian dan hubungan yang tulus. Hubungannya yang kompleks dengan “ayah” yang tak pernah hadir, cinta segitiga yang rumit dengan anak Charlie Chaplin dan Eddy Robinson Jr., serta pernikahanya yang penuh gejolak dengan Joe DiMaggio dan Arthur Miller, semuanya terangkai dalam narasi yang intens dan emosional.
“Blonde” tidak ragu menggambarkan momen-momen kelam dalam hidup Marilyn, termasuk keputusan aborsi yang menghantuinya, keguguran yang menyakitkan, dan ketergantungannya pada obat-obatan terlarang sebagai pelarian dari tekanan hidup. Film ini mencapai klimaks tragis ketika Norma Jeane bertemu dengan Presiden Kennedy dalam sebuah pertemuan yang merendahkan dan traumatis. Pada akhirnya, “Blonde” adalah potret seorang wanita yang rapuh dan terluka, yang mencari penerimaan dan cinta sejati, namun justru terperangkap dalam jaring popularitas dan eksploitasi, hingga mengantarkannya pada akhir yang tragis. Film ini adalah refleksi yang mendalam tentang harga ketenaran dan beban menjadi ikon di Hollywood.
“Blonde” adalah film yang memicu perdebatan sejak penayangan perdananya. Banyak pujian dialamatkan pada penampilan Ana de Armas yang luar biasa dalam memerankan Marilyn Monroe. Ia berhasil menghidupkan kembali gestur, suara, dan kerentanan ikon Hollywood tersebut. Namun, film ini juga menuai kritik pedas karena dianggap terlalu mengeksploitasi kehidupan Marilyn Monroe demi sensasi. Keputusan untuk mengadaptasi novel fiksi alih-alih membuat biografi yang faktual membuat sebagian penonton dan kritikus merasa bahwa film ini kurang menghormati sosok Marilyn Monroe yang sebenarnya.
Visual film ini memang memukau. Penggunaan warna dan hitam putih yang bergantian, serta perubahan rasio aspek layar, memberikan pengalaman sinematik yang unik dan artistik. Namun, beberapa kritikus menilai bahwa gaya visual yang kuat ini justru menutupi narasi yang problematik dan cenderung melodramatis. Kisah yang disajikan terasa berat dan suram, dengan penekanan pada penderitaan dan trauma Marilyn Monroe. Meskipun “Blonde” mencoba untuk menggali sisi psikologis sang bintang, beberapa orang merasa bahwa film ini justru terjebak dalam voyeurisme dan glorifikasi kesengsaraan.
Terlepas dari kontroversi yang menyelimutinya, “Blonde” tetaplah sebuah film yang kuat dan menggugah emosi. Penampilan Ana de Armas adalah daya tarik utama, dan film ini berhasil menciptakan atmosfer yang mencekam dan melankolis. Jika kamu mencari tontonan yang ringan dan menghibur, mungkin “Blonde” bukan pilihan yang tepat. Namun, jika kamu tertarik dengan drama psikologis yang mendalam dan tidak takut dengan penggambaran yang jujur dan terkadang brutal tentang sisi gelap Hollywood, film ini patut untuk disaksikan. Siap-siap saja untuk terbawa dalam perjalanan emosional yang intens dan merenungkan kembali kisah hidup seorang ikon yang tragis.