Film “Big George Foreman” membawa kita menyelami perjalanan hidup seorang legenda tinju dunia yang penuh liku, George Foreman. Kisah ini bukan sekadar tentang pukulan dan ring tinju, tapi lebih dalam mengupas transformasi seorang pria dari kemiskinan dan kemarahan menjadi sosok yang penuh damai dan inspiratif.
Kita diperkenalkan dengan George muda yang tumbuh di tengah kerasnya Houston, Texas. Kemarahan seringkali menjadi teman akrabnya, mendorongnya ke jalan kekerasan dan hampir berujung pada jeruji besi. Titik balik datang ketika ia memutuskan bergabung dengan Job Corps, sebuah program pengembangan diri. Di sanalah, bakat terpendamnya di bidang tinju mulai terlihat di bawah bimbingan Doc Broadus.
Keajaiban terjadi di Olimpiade 1968. Setahun setelah mulai berlatih tinju, George meraih medali emas untuk Amerika Serikat. Pintu menuju dunia tinju profesional pun terbuka lebar. Bersama pelatih Dick Sadler dan Archie Moore, karirnya melesat. Ia bertemu Paula, seorang jurnalis yang kemudian menjadi istrinya, dan meraih sabuk juara dunia kelas berat setelah mengalahkan Joe Frazier di tahun 1973. Kehidupan mewah dan popularitas tak terhindarkan, namun di balik itu, George bergulat dengan sisi gelapnya; perselingkuhan dan kesombongan mulai menggerogoti dirinya.
Puncak kejatuhan datang saat pertarungan legendaris “Rumble in the Jungle” melawan Muhammad Ali. Kekalahan telak akibat strategi rope-a-dope Ali menjadi pukulan berat bagi George. Perceraian dengan Paula dan pemecatan pelatih semakin memperparah kondisi mentalnya. Sebuah kejadian menyentuh hati ketika keponakannya sakit parah menjadi titik balik spiritualnya. Doa tulus untuk kesembuhan sang keponakan membawanya pada pengalaman religius yang mengubah hidupnya secara drastis.
George Foreman meninggalkan dunia tinju yang membesarkan namanya. Ia memilih jalan spiritual, menjadi seorang pendeta yang berdedikasi. Bersama istri keduanya, Mary Joan Martelly, ia membangun keluarga dan fokus melayani masyarakat melalui gereja dan pusat komunitas pemuda yang didirikannya. Namun, badai finansial menerjang. Pusat komunitasnya terancam ditutup akibat masalah keuangan yang disebabkan oleh orang kepercayaannya.
Di titik nadir inilah, George kembali menemukan panggilannya di atas ring tinju, bukan untuk ketenaran atau kekayaan, tapi untuk menyelamatkan pusat komunitasnya. Dengan dukungan Mary Joan dan Doc Broadus, ia memulai comeback yang luar biasa di usia yang tidak lagi muda. Pertarungan demi pertarungan ia menangkan, hingga akhirnya berhadapan dengan Evander Holyfield dan kemudian Michael Moorer. Kemenangan atas Moorer di tahun 1994 mengantarkannya kembali menjadi juara dunia kelas berat di usia 45 tahun, sebuah rekor yang mencengangkan.
“Big George Foreman” bukan hanya film biografi seorang petinju. Ini adalah kisah inspiratif tentang penebusan dosa, kesempatan kedua, kekuatan iman, dan pentingnya menemukan tujuan hidup sejati. Film ini menunjukkan bahwa terkadang, kita harus jatuh ke titik terendah untuk menyadari bahwa semua yang kita cari sebenarnya sudah ada dalam diri kita. Perjalanan George Foreman mengajarkan bahwa hidup adalah tentang bangkit kembali, tak peduli berapa kali kita terjatuh.
