Film “Better Man”, yang mengisahkan kehidupan penyanyi ikonis Robbie Williams, menyajikan sebuah narasi yang unik dan mendalam. Yang menarik, Robbie Williams digambarkan sebagai seekor simpanse antropomorfik animasi komputer (CGI), sebuah representasi visual yang mencerminkan perasaannya yang selalu merasa “kurang berkembang” dibandingkan orang lain.
Kisah dimulai di Stoke-on-Trent pada tahun 1980-an. Robbie kecil, yang diperankan sebagai simpanse muda, mengalami penghinaan saat bermain sepak bola. Ia menemukan penghiburan pada neneknya, Betty, yang selalu mendukungnya. Ayahnya, Peter, mengajarinya bernyanyi dengan gaya Frank Sinatra, tetapi sering kali membuat Robbie merasa tidak berharga. Sebuah insiden kecil saat pementasan drama “The Pirates of Penzance” menunjukkan keberanian Robbie, tetapi kebahagiaannya sirna ketika Peter tidak datang. Kemudian, Peter pergi, meninggalkan keluarganya. Robbie menyimpan barang-barang yang mengingatkannya pada ayahnya sebagai bentuk pelampiasan rindu.
Saat remaja, Robbie dengan tegas menyatakan niatnya untuk menjadi penyanyi terkenal, meskipun mendapat cibiran dari konselor karier. Keberaniannya memuncak ketika ia mengetahui adanya audisi untuk sebuah boy band di Manchester. Awalnya ditolak, Robbie berhasil meyakinkan juri dengan tekad dan kepercayaan dirinya, hingga akhirnya mendapatkan tempat di grup pop Take That.
Awal karir Take That diwarnai dengan penampilan di klub-klub gay, perlahan membangun basis penggemar. Sebuah penampilan penting di hadapan sekelompok gadis remaja melambungkan mereka menuju ketenaran. Seiring dengan meningkatnya popularitas mereka, Robbie berjuang dengan keraguan diri, berselisih dengan manajer mereka, Nigel Martin-Smith, tentang kontrol kreatif, dan mulai menyalahgunakan narkoba. Ketegangan ini mencapai puncaknya ketika Robbie dipecat dari band setelah pertemuan di rumah Gary Barlow.
Setelah kepergiannya dari Take That, Robbie terjerumus ke dalam kecanduan, dihantui oleh halusinasi yang melambangkan rasa sakit batinnya. Meskipun mengalami kemunduran awal, ia menjalin hubungan dengan Nicole Appleton dari grup pop All Saints, dan kemitraan baru dengan penulis lagu Guy Chambers memicu kebangkitan kariernya. Robbie merilis album solo pertamanya, “Life thru a Lens”, yang memperkuat kesuksesannya sebagai artis solo. Namun, kehidupan pribadinya tetap bermasalah. Hubungannya dengan Nicole kandas, dan ia kehilangan Betty. Dia kemudian merusak hubungannya dengan teman masa kecilnya, Nate, dan ayahnya.
Di Knebworth Festival, Robbie menghadapi titik terendah dalam perjalanannya. Tampil di hadapan 125.000 penggemar, Robbie berjuang selama konser, dilumpuhkan oleh rasa takut dan kesehatan mentalnya yang memburuk. Dalam urutan simbolis, Robbie melakukan pertempuran sengit dengan berbagai inkarnasi masa lalunya. Setelah konser, Robbie hampir mencoba bunuh diri sebelum mengurungkan niatnya, menyadari bahwa dia harus menghadapi masalahnya.
Setelahnya, Robbie memasuki rehabilitasi, menjalani detoksifikasi yang berat dan mulai mengubah hidupnya. Dia berdamai dengan teman dan keluarganya yang terasing, termasuk reuni yang mengharukan dengan Nate dan perpisahan yang baik dengan Nicole. Dia mengunjungi makam Betty, menemukan kedamaian dalam ingatannya, dan berkomitmen untuk menjadi versi dirinya yang lebih baik.
Di Royal Albert Hall, Robbie berdamai dengan ayahnya, Peter, di atas panggung selama penampilan (“My Way”). Dia menyampaikan penghormatan yang tulus kepada Betty dan akhirnya membahas visi masa lalunya, mengubahnya dari antagonis menjadi sumber pertumbuhan pribadi. Dia melihat visi dirinya yang lebih muda di antara penonton, menegaskan kembali tujuannya untuk menginspirasi dan menghibur.
