“Audrey,” sebuah film yang mungkin akan membuat Anda bertanya-tanya tentang batas moralitas dan sejauh mana seseorang bersedia melangkah untuk meraih kesempatan kedua. Film ini berkisah tentang Ronnie Lipsick, seorang wanita yang terperangkap dalam rutinitas hidup yang mengecewakan. Karirnya stagnan, pernikahannya hambar, dan hubungannya dengan kedua putrinya terasa renggang. Kehidupannya terasa jauh dari impian yang pernah ia bayangkan.
Semuanya berubah drastis ketika Audrey, putri sulungnya, mengalami kecelakaan tragis yang membuatnya koma. Di tengah kesedihan dan kebingungan, Ronnie melihat sebuah celah, sebuah kesempatan untuk “menemukan kembali” dirinya. Ide gila muncul di benaknya: dia akan mencuri identitas Audrey dan memulai hidup baru dengan memanfaatkan keadaan putrinya.
Ronnie merasa bahwa dengan menjadi Audrey, ia bisa meraih kembali impian masa mudanya yang dulu kandas. Ia membayangkan karir yang sukses, hubungan yang memuaskan, dan kebahagiaan yang selama ini terasa jauh. Namun, rencananya yang nekat ternyata jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Saat Ronnie berusaha menyamar sebagai Audrey, ia menemukan bahwa dirinya bukan satu-satunya oportunis dalam keluarga. Rahasia-rahasia kelam mulai terkuak, dan ia menyadari bahwa ada orang lain yang juga ingin memanfaatkan kondisi Audrey untuk keuntungan pribadi. Situasi ini memicu konflik internal dalam diri Ronnie. Apakah keputusannya untuk mencuri identitas Audrey benar? Apakah ia benar-benar bisa bahagia dengan cara seperti ini?
Perjalanan Ronnie menjadi semakin berat ketika ia harus menghadapi konsekuensi dari tindakannya. Ia harus berbohong, menipu, dan menyembunyikan kebenaran dari orang-orang yang dekat dengannya. Sementara itu, harapan untuk kesembuhan Audrey semakin menipis, dan Ronnie harus berdamai dengan kenyataan pahit bahwa putrinya mungkin tidak akan pernah bangun.
“Audrey” adalah sebuah film yang menggugah pikiran tentang identitas, penyesalan, dan kesempatan kedua. Film ini mengajak kita untuk merenungkan nilai-nilai moral yang kita pegang dan bertanya pada diri sendiri: sejauh mana kita bersedia berkorban untuk meraih kebahagiaan? Apakah kita benar-benar bisa lari dari masa lalu, ataukah masa lalu akan selalu menghantui kita?