A Copenhagen Love Story. Judulnya aja udah kayak bisikan romansa dari kota indah Copenhagen ya? Hmm, tapi jangan langsung bayangin jalan-jalan sore sambil pegangan tangan di tepi kanal. Film ini kayaknya lebih dalam dari sekadar itu.
Oke, jadi inti ceritanya tuh tentang Mia, seorang penulis sukses, dan Emil, duda menawan. Mereka jatuh cinta, klise? Eh, tunggu dulu. Kebahagiaan mereka diuji saat mereka memutuskan untuk punya anak. Masalah kesuburan jadi batu sandungan yang nggak main-main. Bayangin deh, lagi hot-hotnya pacaran, terus tiba-tiba dihadapkan sama kenyataan medis yang bikin hubungan jadi tegang.
Film ini kayaknya nggak malu-malu buat ngangkat isu sensitif ini. Proses fertility treatment itu kan nggak selalu indah ya, justru malah bisa bikin pasangan jadi stres dan mempertanyakan banyak hal tentang hubungan mereka. Nah, “A Copenhagen Love Story” ini kayaknya mau nunjukkin sisi real dari perjuangan pasangan modern dalam membangun keluarga.
Dari sinopsisnya aja udah kebayang kan drama dan intriknya? Gimana Mia dan Emil berusaha menjaga api cinta mereka tetap menyala di tengah tekanan dan ketidakpastian proses bayi tabung atau inseminasi. Pasti ada momen-momen mesra yang bikin kita senyum-senyum sendiri, tapi juga ada adegan-adegan yang bikin hati kita ikut nyeri.
Yang menarik, film ini nggak cuma soal masalah kesuburan aja, tapi juga soal dinamika hubungan Mia dan Emil. Mia dengan status penulis suksesnya, dan Emil sebagai single father, pasti punya latar belakang dan pandangan hidup yang beda. Perbedaan ini, ditambah lagi masalah kesuburan, otomatis jadi bumbu yang bikin cerita ini makin kompleks dan relatable.