Before, Now & Then (Nana) membawa penonton kembali ke era pasca-kemerdekaan Indonesia, sekitar tahun 1960-an di Jawa Barat, dengan latar belakang gejolak politik dan sosial yang kental. Film ini berpusat pada Nana, seorang wanita Sunda yang hidupnya dibayangi oleh trauma masa lalu akibat perang dan kehilangan suami pertamanya. Kini, ia telah menikah lagi dengan seorang pria kaya dan menjalani kehidupan yang tampak nyaman sebagai seorang istri dan ibu. Namun, di balik ketenangan permukaan, Nana menyimpan luka lama dan kerinduan akan masa lalu yang hilang. Ia merasa terasing dalam pernikahannya sendiri, meskipun suaminya tampak baik padanya.
Kehidupan Nana yang monoton mulai terusik ketika ia menjalin persahabatan yang tak terduga dengan Ino, salah satu simpanan suaminya. Hubungan antara kedua wanita ini menjadi inti dari narasi Before, Now & Then (Nana). Alih-alih dipenuhi kecemburuan atau permusuhan, mereka justru menemukan tempat berbagi rahasia, keluh kesah, dan dukungan emosional. Persahabatan ini menjadi ruang aman bagi Nana untuk mengungkapkan perasaan terpendamnya dan menghadapi trauma masa lalunya. Film ini disajikan dengan visual yang puitis dan atmosfer yang tenang namun sarat makna. Melalui sudut pandang Nana, penonton diajak menyelami kompleksitas kehidupan perempuan pada masa itu, yang seringkali terbatas oleh norma sosial dan ekspektasi gender. Before, Now & Then (Nana) bukan hanya cerita tentang perselingkuhan atau persahabatan antar wanita, tetapi juga eksplorasi mendalam tentang memori, kehilangan, ketahanan perempuan, dan pencarian kebebasan personal di tengah keterbatasan. Keindahan sinematografi dan narasi yang subtil menjadikan film ini sebuah perenungan tentang kekuatan jiwa manusia dalam menghadapi badai kehidupan.