Baby Blues mengangkat tema yang seringkali dianggap tabu namun sangat relevan dalam kehidupan rumah tangga: sindrom baby blues atau depresi pascakelahiran, namun dengan sentuhan komedi fantasi yang unik. Cerita berpusat pada pasangan suami istri muda, Dinda dan Dito, yang baru saja menyambut kelahiran anak pertama mereka. Kegembiraan awal memiliki bayi dengan cepat berubah menjadi stres dan kelelahan, terutama bagi Dinda yang harus beradaptasi dengan peran barunya sebagai ibu. Kurang tidur, perubahan hormon, dan tekanan merawat bayi membuatnya mengalami perubahan suasana hati yang drastis, mudah marah, dan sering menangis – gejala klasik baby blues. Dito, sang suami, bukannya memberikan dukungan penuh, malah seringkali tidak peka dan kurang memahami kesulitan yang dihadapi istrinya.
Konflik memuncak dalam sebuah pertengkaran hebat di malam hari, di mana mereka saling menyalahkan dan berharap bisa bertukar posisi agar pasangannya bisa merasakan betapa sulitnya peran masing-masing. Keajaiban terjadi keesokan paginya: jiwa mereka benar-benar tertukar! Dinda terbangun dalam tubuh Dito, dan Dito dalam tubuh Dinda. Kekacauan pun dimulai. Baby Blues mengeksplorasi situasi kocak namun penuh makna ini. Dito (dalam tubuh Dinda) harus merasakan langsung bagaimana rasanya mengurus bayi, menyusui (secara ajaib bisa), dan menghadapi perubahan emosional pascapersalinan. Sementara Dinda (dalam tubuh Dito) harus berurusan dengan pekerjaan kantor dan tekanan sebagai kepala keluarga. Pertukaran tubuh ini memaksa mereka untuk berjalan di ‘sepatu’ pasangan masing-masing, memberikan pelajaran berharga tentang empati, komunikasi, dan kerja sama dalam rumah tangga. Film ini menggunakan elemen fantasi untuk membahas isu serius Baby Blues dengan cara yang ringan namun tetap mengena, menyoroti pentingnya dukungan pasangan dalam menghadapi tantangan awal menjadi orang tua.
