Siksa Kubur: Ketika Tragedi Merenggut Keyakinan
Tragedi mampu mengubah arah hidup seseorang secara drastis, bahkan hingga ke dasar keyakinannya. Bagi Sita, kehilangan kedua orang tuanya dalam insiden bom bunuh diri bukan hanya meninggalkan duka mendalam, tetapi juga merenggut imannya pada agama dan segala ajarannya. Peristiwa kelam itu menjadi titik balik yang membentuknya menjadi pribadi yang penuh keraguan dan penolakan terhadap hal-hal spiritual. Di tengah kehancuran imannya itulah, sebuah obsesi ekstrem mulai terbentuk, yang menjadi inti dari penelusuran dalam ‘Siksa Kubur’.
Setelah kejadian naas itu, tujuan hidup Sita mengerucut menjadi satu, didorong oleh rasa sakit dan ketidakpercayaan yang mendalam: menemukan orang yang dianggap paling banyak menanggung dosa selama hidupnya. Bukan untuk menghakimi, melainkan demi sebuah pembuktian yang radikal. Ketika orang itu menghembuskan napas terakhirnya, Sita punya rencana nekat yang melampaui batas nalar. Ia ingin ikut turun ke dalam liang lahatnya, merasakan langsung, dan menyaksikan apakah benar ada siksa kubur seperti yang diceritakan dalam kitab-kitab suci.
Bagi Sita, jika ia tidak menemukan bukti siksaan sekecil apa pun di alam kubur orang paling berdosa sekalipun, maka seluruh konsep keagamaan, termasuk keberadaan Tuhan dan kehidupan setelah mati, hanyalah ilusi belaka, dongeng yang telah mempermainkan emosinya saat kehilangan. Ini adalah upaya putus asa untuk memvalidasi ketidakpercayaannya dengan cara yang paling ekstrem.
Namun, perjalanan mencari pembuktian ekstrem ini tentu saja tidak tanpa risiko. Ada batasan antara keyakinan, keraguan, dan penolakan yang, saat dilanggar dengan cara menantang takdir dan hukum alam, bisa membawa pada konsekuensi yang tak terbayangkan. Kisah dalam ‘Siksa Kubur’ seolah mengingatkan bahwa mencari bukti atas hal-hal ghaib dengan cara menantang takdir bisa jadi adalah upaya yang mengundang petaka, terutama bagi jiwa yang kehilangan arah dan keyakinan setelah dihantam penderitaan. Ini adalah sebuah penelusuran ke dalam jurang keraguan dan obsesi, mempertanyakan batas antara iman dan empirisme, dan siap menghadapi balasan atas pilihan yang sangat ekstrem.