Tugas suci sebagai pemandi jenazah bukanlah sekadar pekerjaan bagi Lela, melainkan warisan berharga dari sang ibu, Bu Siti. Sejak belia, Lela telah dididik untuk memahami setiap detail prosesi memandikan orang yang telah meninggal, dengan satu prinsip utama yang ditanamkan kuat-kuat oleh Bu Siti: menutupi dan merahasiakan segala hal yang ditemukan pada jenazah, sekecil apapun itu. Prinsip ini, yang dianggap haram untuk dilanggar, menjadi panduan hidup bagi Lela, dengan harapan ia akan meneruskan profesi yang tak banyak diminati ini bila sang ibu tiada nanti.
Namun, ketenangan desa tempat mereka tinggal seketika terkoyak oleh serangkaian kejadian aneh dan mengerikan. Setelah Bu Siti menyelesaikan tugas terakhirnya, memandikan jenazah temannya, Bu Ida, yang ditemukan dalam kondisi mengenaskan, teror santet mulai menghantui. Tak lama berselang, Bu Siti pun menjadi korban, meregang nyawa dengan tragis dijemput santet. Dalam duka mendalam, Lela menjalankan tugas terakhirnya, memandikan jenazah ibunya sendiri. Di sinilah ia menemukan kejanggalan yang menggemparkan: bukti santet berupa kawat berduri bersarang di tubuh sang ibu.
Kematian Bu Siti ternyata hanyalah awal dari malapetaka yang lebih luas. Santet kembali menyerang dan merenggut nyawa warga lain, termasuk Bu Ana dan Bu Tuti. Teror mistis pun menghantui sejumlah warga, termasuk Lela dan Bu Terry, yang diteror oleh penampakan menyeramkan menyerupai para korban.
Didorong rasa ingin tahu dan kebutuhan akan keadilan, Lela mencoba mengurai benang merah di balik teror ini. Petunjuk mengarah pada kisah kelam Bu Nur, seorang wanita yang dahulu dikucilkan dan dituduh merusak rumah tangga warga, memicu dugaan bahwa santet ini adalah balas dendam atas fitnah tersebut. Kecurigaan Lela tertuju pada Rika, seorang gadis muda yang dekat dengan kakaknya, Arif, dan telah lama kehilangan ibunya. Penyelidikan diam-diam membawa Lela menemukan foto lama yang mengaitkan ibunya dan teman-temannya dengan masa lalu Bu Nur. Dengan bantuan Bu Tuti yang mengakui Bu Nur dulunya adalah teman mereka, kepingan teka-teki mulai tersusun, namun kebenaran itu harus dibayar mahal dengan kematian Bu Tuti akibat santet tak lama setelah pengakuannya.
Penyelidikan Lela yang kian nekat, termasuk menggali makam Bu Ida demi mencari bukti kawat berduri—yang berujung pada teror sekelompok pocong—dan penemuan kawat serupa pada jenazah Bu Ana, akhirnya meyakinkan Arif bahwa ibu mereka memang disantet. Namun, informasi ini bocor dan menyebar di kalangan warga melalui Bu Terry. Keadaan mencapai titik didih ketika tindakan Lela membongkar makam diketahui warga, bahkan menarik perhatian polisi. Di tengah ketegangan saat memandikan jenazah Bu Tuti, Lela yang kalap melontarkan tuduhan publik pada Rika. Kata-katanya memicu reaksi tak terduga, termasuk kesurupan massal yang membuat warga percaya dan bertindak brutal.
Dalam amukan massa yang gelap mata, Rika menjadi korban, tewas secara mengenaskan, mengulang nasib tragis ibunya. Peringatan dari ‘jin qorin’ ibunya agar Lela menghentikan warga tak mampu mencegah tragedi berikutnya: Arif, sang kakak, ikut terbunuh saat mencoba menahan warga yang beringas. Dalam momen paling menghancurkan, Lela ditinggalkan sendirian di tengah kesedihan yang tak terperi, dikhianati oleh warga yang sebelumnya berkumpul bersamanya, kini hanya memikirkan diri mereka sendiri.
Bertahun-tahun berlalu, Lela tetap menjalankan profesinya sebagai pemandi jenazah. Trauma mendalam telah mengubah pandangannya tentang keadilan dan kebenaran. Puncaknya, saat memandikan jenazah Bu Murni, Lela menemukan bukti konklusif—sebuah susuk—yang mengungkap kebenaran sesungguhnya: Bu Nur sesungguhnya difitnah, dan Bu Murnilah pelaku yang merusak rumah tangga warga selama ini. Namun, keadilan bagi Bu Nur atau penyingkapan kebenaran tak lagi menjadi prioritas Lela. Ia membuang bukti itu ke tempat sampah, memilih untuk kembali memegang teguh prinsip ibunya: merahasiakan segala hal yang dilihatnya di balik kain kafan. Sebuah pilihan pahit, mencerminkan kepedihan mendalam yang telah membentuk ulang dirinya.
